Sumber: Pinterest
Angin segar, Beasiswa Pendidikan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kembali buka nih. Banyak banget pertanyaan yang muncul seputar beasiswa ini khususnya bagaimana sih cara buat esai nya atau Komitmen kembali ke Indonesia dan rencana kontribusi di Indonesia pasca studi
yang panjang itu loh. Tidak panjang-panjang amat kok, heheh.
Oh iya, untuk tulisan yang aku share ini cuma hanya sekedar contoh untuk memantik teman-teman, jadi sifatnya bukan yang paling bener ya. Teman-teman bisa buat yang lebih bagus lagi.
Tulisan ini aku tulis saat akan mendaftar Beasiswa LPDP Tahap I di tahun 2021 dan mengantarkan kelulusanku sampai selesai tahap wawancara, masih fresh nih hihihi. Check this out.....
Indonesia Tanggungjawab Kita
“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” - Ir. Soekarno (Bapak presiden
pertama Republik Indonesia).
Begitulah kalimat legendaris dari seorang yang legendaris, pemuda yang pada masanya memberikan kontribusi besar dalam kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Melalui kalimat di atas, Pak Soekarno menggambarkan keperkasaan pemuda dan saya berharap salah satu pemuda yang dimaksud Pak Soekarno itu adalah
saya membujuk ayah saya untuk menyekolahkan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) (rayuannya, bahwa pendidikan bisa melahirkan kita berkali-kali dan
kita bisa memilih untuk jadi siapa). Masuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), finansial menjadi alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan.
Saya tidak kehabisan akal, kali ini kakek saya. Kakek mendukung untuk melanjutkan pendidikan memberikan motivasi untuk belajar hidup mandiri. Alhasil dari
ajaran kakek, saya memulai usaha kecil dengan jualan pulsa dan stiker karakter (saat itu lagi ramai peminat stiker karakter di sekolah saya).
Setelah lulus SMA menjadi masa-masa yang paling menegangkan, putus pendidikan merupakan mimpi buruk bagi saya. Dukungan melanjutkan pendidikan
saya dapat dari raut wajah mereka (keluarga kecil saya), kupikir saatnya pemuda berjuang.
Bersyukur Indoesia adalah negara dengan beasiswa pendidikan yang tersebar dimana-mana, kuncinya adalah mencari dan mendaftarkan diri. Sosialisasi
beasiswa Bidikmisi saat itu berhasil menghantarkan saya masuk ke perguruan tinggi dengan kualifikikasi beserta proses seleksinya, dan proses itu saya lalui
dengan optimis.
Bersyukur juga, saya melalui proses SMA saya dengan menjadikan sekolah sebagai rumah kedua dan menjadi syarat penunjang lulus seleksi beasiswa
Bidikmisi. Saat itu, saya menganggap sekolah bukan hanya tempat menimbah ilmu di dalam kelas namun juga menjadi tempat makan siang dan terkadang
menjadi tempat makan malam ketika banyaknya kegiatan organisasi yang harus dituntaskan.
Semasa SMA, pendidikan waktu senggang saya gunakan untuk belajar di organisasi dan membangun sekolah. Tidak jarang saya dan teman-teman keluar
dan menggelar aksi sosial untuk sekedar membatu beberapa kerabat sebangsa. Dua periode di SMA saya lakoni sebagai pengurus Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS), pada periode pertama saya menjalani sebagai anggota bidang Pengembangan Bahasa dan Budaya, periode selanjutnya saya melakoni
jabatan sentral sebagai Ketua OSIS perempuan pertama waktu itu selama kurang lebih 12 tahun SMAN 10 Bulukumba beroperasi.
Saya menyadari pentingnya peran organisasi, olehnya saya tidak hanya berlakon di OSIS saja namun juga beberapa organisasi yang beroperasi di sekolah
seperti Kelompok Karya Ilmiah Remaja dan Pers Jurnalistik serta organisasi ekstra sekolah yang merupakan organisasi binaan di desa saya yakni dapur SENI (dS) Merah, dari sini pula saya menyadari bahwa budaya dan seni tidak boleh mati apa lagi mati di dalam sekolah, olehnya selama kepengurusan di OSIS saya
dan kawan-kawan pengurus menyulap sekolah beserta program adiwiyata-nya dengan sentuhan seni dan budaya, tak ayal dinding yang penuh coretan tidak
bertanggung jawab kami sulap menjadi dinding yang memiliki makna dan estetis. Dalam kegiatan Pekan Olahraga dan Seni, kami konsep dengan ramah
lingkungan, menggunakan apapun yang ada di sekolah sebagai dekorasi panggung, dan perlombaan mading menggunakan sampah yang ada di sekolah.
Menjadi aktif memiliki nilai. Proses saya selama SMA saya kembangkan saat tiba di perguruan Tinggi (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar) pada
tahun 2016. Menjadi bermakna memang selalu menarik, di sini saya memberanikan diri hadir dan bermakna untuk jurusan. Saat itu saya menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa dan Sastra Inggris tahun 2019. Sadar bahwa sedikitnya waktu belajar di kelas dan perlunya konsumsi wacana-wacana di luar materi perkuliahan sehingga visi misi saya pada waktu itu menjadikan HMJ sebagai wadah berkembangnya wacana kritis mahasiswa. Proses itu harus berkembang dan maju, selepas jabatan di HMJ, saya mendaftarkan diri sebagai calon Presiden Mahasiswa dan saya menjadi
satu-satunya kandidat perempuan pada tahun 2020.
Politik kampus memang menarik, dan saya bersyukur telah menyampaikan keterwakilan perempuan
dalam arena politik kampus, dan riuh tepuk tangan ketika saya menyampaikan “Dalam profiling seorang figur, jangan lihat jenis kelaminnya tapi lihatlah semangat dan visi misinya”, namun akhirnya kalah juga dan keterwakilan itu hanya bisa tersampaikan sampai Wakil Ketua I.
Pentingnya relasi dan pendidikan alternatif di luar jurusan, membuat saya terjun di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di himpunan ini saya bertemu banyak
orang-orang hebat termasuk bapak Akbar Tanjung, kami sempat berdiskusi dalam forum HMI (Sekolah Ideologi, Politik, Organisasi, dan Strategi Taktik di Graha Insan Cita Depok tahun 2019) dan kebetulan juga membahas peran pemuda dalam membangun Indoesia di tahun 2045. Selain bapak Akbar Tanjung, saya juga pernah berkesempatan berdiskusi dengan Pak Prof. Harry Azhar Azis, M.A., Ph. D., CSFA (Ketua BPK RI 2014-2017), saat itu saya memoderatori beliau dalam diskusi “Menyoal Dana Pendidikan”.
Organisasi dan akademik merupakan dua hal yang bisa jalan beriringan. Saya membuktikan itu dengan beberapa prestasi akdemik yang saya ikuti. Menjadi juara 2 dan 3 dalam olimpiade bahasa jerman tingkat Indonesia Timur dan Kabupaten saat SMA, juara 3 Teater se-kabupaten, juara harapan 3 lomba pidato bahasa Inggris se kabupaten, juara 3 lomba esai se-Universitas, juara 1 lomba esai se-Fakultas, dan pernah berkesempatan meraih gelar Student of the Year tahun 2018 di jurusan.
Berdiam diri adalah pekerjaan yang paling sulit saya lakukan. Saat masa pandemi di bulan April 2020, saya mengajak teman-teman membentuk forum literasi dengan dinamakan Pustaka Kolektif. Beberapa agenda yang dilaksanakan oleh Pustaka Kolektif cukup variatif, mulai dari peminjaman buku, kajian, bedah buku dan film, juga lapak baca di tempat yang biasa dikunjungi masyarakat dan anak-anak khususnya. Ini merupakan satu cara yang kami lakukan untuk membungkam ketidak tahuan informasi, membungkam mal informasi, dan menjadikan daerah Bulukumba sebagai pusat literasi di Sulawesi Selatan.
Saya tidak ingin berhenti sampai di sini saja, “Pendidikan bisa melahirkan kita berkali-kali dan kita bisa memilih untuk jadi siapa” saya memegang teguh itu
dan pada setiap jenjang saya harus lahir dengan wajah yang berbeda. Selanjutnya, saya akan lahir sebagai mahasiswi pasca sarjana dan kontributor
pembaharu di Indonesia.
Amanah pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat “....ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan
sosial.” menjadikan Indonesia memiliki kewajiban secara global. Salah satu peran global Indonesia adalah memiliki delegasi di negara-negara lain untuk
membangun hubungan baik, misalnya ikut mendemonstrasikan gender equality dalam praktek hubungan internasional.
Baik Indonesia maupun negara lain seperti Yaman, Chad, Pakistan, dan lainnya berada pada masalah ketidaksetaraan gender ini. Minimnya analisis wacana
gender di masyarakat mengakibatkan kekeliruan pemahaman tentang gender. Gender dianggap sebatas pendikotomian antara laki-laki dan perempuan,
menciptakan perbedaan karakteristik fisik antara keduanya dan hasilnya ada pelabelan peran antara laki-laki dan perempuan yang merupakan konstruksi dari
pemikiran masyarakan tentang perbedaan tersebut.
Pemahaman perbedaan itu kemudian tidak hanya dipraktekkan dalam rana personal semata namun juka menjadi praktek di kehidupan sosial, seperti
hadirnya ketidaksetaraan sosial yang memetakan adanya kelas pertama dan kedua, laki-laki sebagai kelas pertama dan perempuan sebagai entitas yang
berada di kelas kedua.
Selain yang di atas, Jill Steans juga menyebutkan bahwa relasi gender tidak hanya pada rana personal atau sosial domestik saja, namun juga memiliki
pengaruh dalam praktek hubungan internasional. Unsur kekuasaan dan simbolis dunia cenderung dimainkan pada entitas yang dianggap maskulin (laki-laki),
sehingga pandangan dunia yang dihasilkan maskulin pula.
Sistem ekonomi, politik, dan pendidikan dunia membutuhkan kesetaraan pandangan dari keduanya untuk menciptakan equilibrium sosial. Sehingga apa yang dicita-citakan pada Sustainable Development Goals poin kelima yakni Gender Equality sedikit demi sedikit bisa tercapai mempengaruhi yang kecil. Salah satunya menjadikan kajian gender sebagai salah satu sebab diambilnya banyak kebijakan dunia.
Secara spesifik, dalam kajian ilmu hubungan internasional tidak hanya persoalan gender saja, namun karena saya melihat salah satu penyebab terjadinya
masalah dunia sebab adanya ketidaksetaraan gender, maka perlu kiranya ada kajian mendalam perihal ini. Juga dilihat dari permasalahan Indonesia dan
beberapa negara lainnya masih minim praktek kesetaraan gendernya. Bagi saya, praktek kesetaraan ini harus dimulai dari atas dan lebih banyak didiskusikan
dalam konferensi dunia.
Praktek kesetaraan gender ini harus berakar di Indonesia. Saya memimpikan Indonesia dengan persaingan intelektualnya baik laki-laki maupun perempuan.
Kebijakan domestik perlu mempertimbangkan entitas makhluk hidup, tidak hanya perempuan dan laki-laki, namun juga hewan dan tumbuhan. Sumber daya
perempuan Indonesia perlu didorong ke taraf Internasional sehingga menjadi prestasi yang semangatnya tertular untuk perempuan lainnya.
Indonesia pasti bisa mewujudkan itu.
Mendemonstrasikan kesetaraan gender ini dibutuhkan sosok yang berani. Agak keliru ketika membuat organisasi berbasis gender dengan hanya perempuan saja yang berada di dalamnya. Kita butuh oganisasi dengan basis semua entitas gender ada dan ikut
menyuarakan. Saya akan berada di baris terdepan untuk menawarkan diri sebagai volunteer.
Saat ini saya telah mendaftarkan diri sebagai peserta di International Model United Nations (IMUN) Online Conference 60.0 pada 5-6 Juni mendatang. Saya
memilih topik United Nations Woman (UN Woman): Ensuring gender equality by alleviating discrimination against woman dan mewakili negara Albania. Ini
merupakan sebuah kesempatan untuk melihat bagaimana dunia memandang gender equality. Saya akan membahas bagaimana peran perempuan dalam
politik di negara Albania.
Saya memiliki prinsip bahwa tanggung jawab konstitusi negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun merupakan tanggung jawab bersama.
Olehnya menjadi bagian dari perubahan merupakan kewajiban setiap warga negara. Saatnya membangun, menggambar rancangan, eksekusi, jatuh dan
bangkit, jadi.
@_people.in
Comments
Post a Comment